Jumat, 08 Februari 2013

Ambigu dalam Lukisan Tempo Doeloe


Harus disadari bahwa lukisan tempo doeloe adalah produk masa lalu yang dikembangkan di negeri Hindia Belanda, oleh para penjelajah Eropa dengan kepentingan tertentu. Sehingga karya-karya pelukis Eropa tersebut memiliki unsur subjektivitas dalam memahami realitas. Terkadang lukisan dihasilkan lebih mempertimbangkan hasil imajinasi, bahkan lebih ekstrem lagi jika sang pelukis tidak pernah datang ke nusantara atau melihat realitas secara langsung dan malah melukis berdasarkan naratif dan deskriptif dari orang lain yang pernah bertualang di nusantara. Dengan demikian lukisan sebaiknya ditelaah untuk memahami unsur imaji dari para pelukisnya. 

Dalam beberapa pengamatan, saya telah menemukan beberapa kisah yang ambigu dalam lukisan seperti terlihat pada rangkaian lukisan-lukisan dengan argumen berikut ini: 

1)    Ambassadors of the VOC to Timor in 1756

collectie.tropenmuseum.nl

Lukisan cat air ini memperlihatkan perjamuan makan malam yang digelar secara meriah oleh J. A. Paravicini di Kupang, untuk pimpinan VOC dan raja-raja penguasa dari Timor, Solor, Alor, Rote, Sabu dan Sumba. Di bawah bidang lukisan terdapat deskripsi nama dan keterangan semua orang yang terlibat dalam perjamuan. Kedudukan tempat duduk diatur berdasarkan pangkat dan jabatan, seperti dalam kebiasaan perjamuan-perjamuan besar di Eropa. John Andreas Paravicini (1710-1771) dikirim oleh Gubernur Jenderal Hindia Timur ke Kupang Timor sebagai komisaris Hindia Belanda, untuk menunjukkan kekuatan dan otoritas VOC di Timor serta memulihkan hubungan yang sudah ada. Karena tujuh tahun sebelumnya, VOC di kota Kupang pernah dikepung oleh tentara Portugis dan Topas (Portugis Hitam), namun kemudian berhasil dipukul mundur dengan bantuan penduduk setempat.

Berdasarkan informasi bahwa lokasi lukisan ini berada di Kota Kupang. Namun jika ditelusuri, aula gedung dalam lukisan ini mustahil berada di Kupang pada abad ke-18, karena Kupang belum memiliki gedung yang representatif seperti dalam lukisan. Hal ini dapat dibandingkan dengan keadaan Batavia saat itu, yang mana keberadaan gedung-gedung pertunjukan teater, tempat perkumpulan dan untuk menggelar kegiatan-kegiatan besar seperti Societeit Harmonie (Gedung Harmoni) dan Staads Schowburg (Gedung Kesenian) baru dibangun pada abad ke-19 di Batavia. Sehingga arsitektur dengan model basilika tersebut masih terkesan berada di Eropa. Belum lagi detail lukisan tidak menunjukan raja-raja Timor dan pulau-pulau sekitarnya memakai pakaian kebesaran adatnya masing-masing, tetapi hanya menunjukan barisan orang-orang dengan pakaian jas atau jubah gaya Eropa. Detail lukisan dapat dilihat di sini. Ilustrasi lukisan ini telah dijadikan sebagai cover buku Hans Hägerdal yang berjudul Lords Of The Land, Lords Of The Sea, Conflict and adaptation in early colonial Timor 1600-1800, terbitan KITLV Press Leiden tahun 2012. Namun dalam deskripsi tentang sampul buku tersebut hanya menjelaskan secara singkat yaitu Creja ontwerpen, tanpa ada keterangan tambahan lainnya.
  
collectie.tropenmuseum.nl

Selain itu masih terdapat lukisan cat air lainnya, yang masih berkaitan dengan penugasan Gubernur Jenderal di Batavia kepada Paravicini di Timor pada 9 Juli 1756. Sama halnya dengan lukisan pertama, sang pelukis dan tempat pembuatan tidak diketahui. Lukisan ini mengambarkan upacara penandatanganan kontrak atas nama VOC dengan raja-raja pribumi sebagai bentuk kesetiaan mereka kepada VOC, yang kemudian juga di kenal sebagai “Perjanjian Paravicini”. Ambigu juga terlihat dari lukisan kedua ini, gedung upacara penandatanganan kontrak berbeda dengan gedung dilakukannya perjamuan seperti terlihat pada lukisan sebelumnya, yang mana gedung penandatanganan kontrak terlihat memiliki pintu dan jendela-jendela yang besar sedangkan hal tersebut tidak ditemui pada lukisan pertama. Padahal upacara ini digelar sebelum dilakukan perjamuan sebagaimana terlihat pada lukisan pertama. Detail lukisan kedua ini dapat dilihat di sini. Sehingga kedua lukisan ini hanya sekedar gambaran tanpa persesuaian dengan konteks fakta yang ada, atau lebih tepatnya ilustrasi dari sang pelukis anonim.

2)     Chiefs house in the island of Savu, near Timor

http://www.captcook-ne.co.uk

Lukisan ini mendeskripsikan tentang rumah kepala suku di Pulau Sabu, dekat dengan Pulau Timor, yang termuat dalam “A Collection of Drawings made in the Countries visited by Captain Cook in his First Voyage. 1768-1771”. Lukisan ini dibuat pada September 1770 oleh Sydney Parkinson dan saat ini menjadi koleksi dari British Library.

Keanehan dari lukisan ini sudah dibahas sebelumnya oleh Jemes J. Fox  dalam bukunya Harvest of the palm: Ecological change in eastern Indonesia terbitan Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1977. Ia berpendapat bahwa lukisan yang dibuat saat kunjungan Kapal Endeavour ini memiliki kejanggalan yaitu gambaran seorang lelaki yang sedang memanjat pohon lontar (borassus sundaicus) di depan sebuah rumah adat orang Sabu. Lelaki itu membawa wadah timba daun lontar yang dipikul. Cara demikian berbeda dengan kebiasaan yang seharusnya yaitu digantung pada ikat pinggang sang pemanjat pada saat naik dan turun pohon. Jika hal dilakukan dalam lukisan, maka nira lontar akan tumpah karena sulit menemukan keseimbangan timba dalam hal menuruni pohon. Maka bisa dipastikan sang pelukis tidak mendapatkan gambaran utuh bagaimana proses pengambilan nira yang dilakukan masyarakat setempat.

3)   Rose de Freycinet and her Husband Visiting Monsieur Tilleman at Coupang, Timor By Jacques Etienne Victor Arago (1790-1855)

www.1st-art-gallery.com
  
Lukisan ini menggambarkan jamuan yang tengah diberikan oleh Monsieur Tilleman, seorang pejabat kolonial yang berkedudukan sebagai kepala garnisun Benteng Concordia di Kota Kupang terhadap tamunya para penjelajah, Rose de Freycinet dan suaminya Louis de Freycinet bersama rombongan ekspedisi. Mereka berpakaian jas dan gaun khas Eropa sambil dilayani para pelayan dan diberikan sugguhan permainan musik yang menghibur oleh penduduk lokal.

Namun dalam sebuah buku berbahasa Prancis Voyages autour du monde et dans les contrées les plus curieuses du globe depuis Christophe jusqu’à nos jours, menerangkan bahwa Rose de Freycinet adalah seorang penumpang yang tidak direncanakan ikut berlayar dalam ekspedisi yang dipimpin oleh Louis de Freycinet dengan Kapal Uranie yang berlayar pada 17 September 1817 dari Prancis. Rose menyelinap dan menjadi penumpang gelap hingga diketahui setelah pelayaran. Perempuan muda nan cantik ini akhirnya bisa diterima awak kapal dan terus melanjutkan pelayaran. Sayangnya Rose meninggal dalam perjalanan karena terserang kolera. Untuk menghormati dan mengenang keberaniannya, sebuah pulau di Lautan Pasifik di beri nama “Rose”.
 
Kapal Uranie baru melepas sauh di Pelabuhan Kupang pada tanggal 9 Oktober 1818 setelah perjalanan panjang menyeberangi Lautan Atlantik dan Pasifik. Dengan demikian Rose de Freycinet, tidak pernah menginjakkan kakinya di Kota Kupang dan begitu juga tidak pernah ikut dalam perjamuan di kediaman Monsieur Tilleman, sebagaimana terlihat dalam lukisan di atas. Sesuatu yang menjadi misteri!, dikarenakan sang pelukis sendiri  Jacques Arago yang berkebangsaan Prancis adalah bagian dari rombongan dalam ekspedisi yang dipimpin oleh Louis de Freycinet. Entahlah, apakah sang pelukis beranggapan bahwa Rose masih menyertai mereka dalam persinggahan di Pulau Timor, atau juga bagian dari dedikasi menghormati arwahnya, walaupun dengan mengabaikan fakta yang sebenarnya!.

4)    Temple d'idoles pres de Coupang (Timor). Atlas pittoresque, planche 191, 1846

http://commons.wikimedia.org

Lukisan ini bersumber dari Jules Dumont d'Urville (1846) Voyage au Pôle Sud et dans l'Océanie sur les corvettes L'Astrolabe et La Zélée exécuté par ordre du Roi Pendant les Années 1837–1838–1839–1840 sous le commandement de M. Dumont-d'Urville, yang saat ini menjadi koleksi The Heritage Library of Gray, Haute-Saône, Prancis.

Dari judulnya disebutkan lukisan ini sebagai “kuil berhala dekat Kupang (Timor)”. Inilah sebuah kesalahan persepsi dari sang pelukis. Padahal lukisan ini merupakan bagian dari rumah adat Lopo, yaitu bangunan lumbung tempat menyimpan hasil panen padi, jagung, dan ubi-ubian yang terdapat di Pulau Timor bagian tengah. Dengan bentuk panggung, bertiang empat, tidak berdinding, serta atap berbentuk setengah bulat. Bagian atas lopo digunakan untuk menyimpan hasil panen, sedangkan di bagian bawahnya sebagai tempat menerima tamu, untuk membicarakan masalah adat dan kegiatan sehari-hari lainnya seperti menenun, sehingga jauh dari kesan mistis dan pemujaan berhala.

5)   Different Costumes of the People of Coupang, Timor, from Voyage Austour du Monde sur les Corvettes de LUranie 1817-20 

www.1st-art-gallery.com
 
www.antique-prints.de

Lukisan karya Alphonse Pellion tahun 1825 ini kemudian digambar ulang menjadi sebuah lukisan berjudul, Jeune Demoiselle Touchant La Harpe Timor. Original steel engraving drawn by Danvin, engraved by Peronan, Timor Dilly 1836. Anehnya judul dari lukisan pertama lebih memperlihatkan gaya berpakaian masyarakat yang lokasinya di Coupang (Kupang) Timor dan dilukis dengan kesan indoor. Sedangkan pada lukisan kedua mengambil tema alat musik harpa, dengan lokasi berada di Dilly Timor dan terkesan lebih  outdoor atau berada di taman dengan latar tambahannya. 
  
6)    Chinese playing Tchonka in Coupang, Timor, from 'Voyage Autour du Monde sur les Corvettes de L'Uranie 1817-20'

www.1st-art-gallery.com
 
www.antique-prints.de

Lukisan karya Jacques Etienne Victor Arago ini kemudian digambar ulang menjadi sebuah lukisan berjudul Femmes Chinoises Jouants Aux Échecs, Original steel engraving drawn by Danvin, engraved by Langlois, Timor 1836. Walaupun kedua lukisan sekilas memiliki tema yang sama, namun perbedaan yang signifikan dapat terlihat. Lukisan pertama mengetengahkan dua perempuan muda tionghoa yang sedang bermain congklak yang diperhatikan seorang pemuda, sedangkan lukisan yang kedua terlihat bahwa mereka sedang bermain catur. Pada lukisan pertama lebih sederhana dengan kesan grayscale dalam ruang indoor, sedangkan pada lukisan kedua lebih semarak dengan tambahan latar serta tampilan berwarna dibandingkan dengan lukisan pertama. Begitupun dengan lokasi lukisan pertama di Coupang (Kupang) Timor, sedangkan lukisan kedua, cendrung berada di Kota Dilly dengan latar menara katedralnya.

Walhasil lukisan sebagai karya seni, sama halnya dengan produk seni lainnya yaitu perpaduan antara fakta dan fiksi, yang mengelaborasi realitas dalam imajinasi para pelukis, demikian pula tidak menunjukan sebuah kondisi sesuai dengan fakta yang termuat dalam narasi sejarah. Banyak kisah yang bisa diperoleh dari lukisan sebagai pembentuk kesan dari para pelukisnya, entah dengan pertautan antara nyata dan khayal, rasa dan objek, atau lebih dari pada itu dengan memberi kesan enigmatik seperti yang terdapat dalam lukisan-lukisan karya Leonardo da Vinci. (*)

 
 Sekali lagi berusaha menghayati lukisan sebagai karya seni!
Kupang, 08 Februari  2013
©daonlontar.blogspot.com

Baca Juga:



comments

Catatan....!!!

Menulis bukan bakat, tetapi kemauan. Dalam kisah setiap orang pasti akan menuliskan apa ada yang ada di pikiran dan perasaannya.. Secara perlahan menulis mengantarkan seseorang menuju pencerahan, karena menulis membuat orang membaca dan sebaliknya membaca membuat orang menulis. Menulis merupakan pembelajaran, dan tidak hanya sekumpulan kalimat tetapi merupakan sekumpulan nilai dan makna. Kini cara menulis tidak lagi menggunakan pahat dan batu, tongkat dan pasir atau dengan kemajuan teknologi tidak lagi dengan tinta dan kertas tetapi sudah beranjak pada keyboard dan screen. Banyak kisah dan sejarah masa lalu yang tidak terungkap, karena tak ada yang mencatatnya atau bahkan lupa untuk mencatatnya. Mengutip kalimat singkat milik Pramoedya Anantatoer, “hidup ini singkat, kita fana, maka aku akan selalu mencatatnya! Agar kelak abadi di kemudian hari…” Catatan adalah sebuah kesaksian dan kadang juga menjadi sebuah pembelaan diri. Seseorang pernah memberiku sebuah diary, dengan sebuah catatan yang terselip. Kelak aku akan mengembalikannya dalam keadaan kosong karena aku telah mencatatnya di sini….!!!


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
;