Selasa, 06 Maret 2012

Muti Salak, Untaian Mutiara Nusa Tenggara Timur

photo: http://www.beadazzled.net

Dikisahkan pada masa kolonial, VOC menekan raja-raja di Sabu agar menyediakan budak bagi kepentingan VOC yang berkedudukan di Kupang. Namun tekanan itu menghasilkan perlawanan bagi masyarakat Sabu yang dipimpin oleh Rai Dimu. Puncaknya pada tahun 1674, rakyat Dimu merampas isi sebuah kapal VOC yang terdampar di pantai dan seluruh awak kapal dibunuh. Berita ini membuat pimpinan VOC yang bermarkas di Kupang geram, maka setahun kemudian dikirimlah suatu ekspedisi untuk menghancurkan Dimu. Sehingga terjadilah perang yang berlangsung sengit antar dua pihak, namun perang sepertinya berakhirnya seri hingga VOC kemudian mengumumkan gencatan senjata. VOC menuntut rakyat Dimu untuk membayar ganti rugi sebanyak 300 budak, 150 tahel emas dan 150 tahel muti salak dengan kesepakatan VOC akan meninggalkan Pulau Sabu. Dalam realisasinya, Dimu hanya membayar 240 budak, 80 tahel emas dan muti salak.


Berangkat dari sepenggal cerita di atas, perhiasan muti salak telah dikenal di Nusa Tenggara Timur sekitar abad ke-17 atau bahkan mungkin jauh sebelum itu. Muti salak dianggap sangat berharga hingga VOC saja menginginkan benda ini sebagai upeti selain budak, emas, perak dan hasil bumi lainnya. Benda ini sebenarnya adalah barang dagangan yang konon berasal dari India dan di bawa oleh bangsa Cina dengan barang pecah belah lainnya untuk dipertukarkan dengan kayu cendana. Diceritakan bahwa kaum pribumi yang telah menunggu para pedagang Cina di pantai-pantai Pulau Timor dengan membawa cendana dan lilin. Cendana dan lilin tersebut ditukar dengan kain lenan putih, pisau, parang, mangkuk, piring dan muti salak.


Kini muti salak (beads tradisional) dengan warna khas oranye hingga merah gelap, telah menjadi perhiasaan khas Nusa Tenggara Timur yang dikenakan di leher sebagai kalung. Terbuat dari manik-manik tradisional antik sebesar biji jagung yang dirangkai secara sederhana. Manik-manik ini berasal dari batu alam berharga dari masa silam, sehingga kini harga perhiasan ini begitu mahal. Namun ada juga argumentasi bahwa perhiasan ini pernah dibuat di Eropa dan dibawa oleh para pedagang.

Bagi masyarakat tradisional hampir di seluruh dunia, menganggap perhiasan dengan bentuk manik-manik (beads) sebagai bagian dari budaya. Sebuah kalung manik-manik merepresentasikan keberagaman, identitas dan kompleksitas dari material dan bentuk yang digunakan. Kepemilikan kalung muti salak bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur, menunjukkan kedudukan dan status dalam budaya, kekayaan keluarga, kemampuan ekonomi dan keberhasilan dalam hidup dengan melihat jumlah kalung yang dimiliki. Kalung tradisional ini juga sering dijadikan belis selain perhiasan dari emas dan perak, uang perak, hewan ternak, dan uang. Saat ini muti Salak menjadi pusaka turun temurun yang nilainya sangat mahal. Kabarnya seuntai muti salak sebanding dengan harga beberapa ekor ternak seperti kerbau atau sapi. Kini muti salak asli menjadi barang yang langkah dan hanya dimiliki oleh keluarga tertentu.
 

Muti salak begitu femilier dipakai di daratan Timor, Rote, Sabu dan Sumba. Tidak hanya di Nusa Tenggara Timur, di beberapa wilayah di Timur Indonesia juga mengenal kalung muti salak. Muti salak merupakan salah satu ornamen yang paling banyak di pakai oleh perempuan pada pehelatan pesta adat. Muti salak juga hampir selalu dijadikan sebagai aksesoris pelengkap baju adat baik yang dikenakan oleh laki-laki maupun perempuan. Bahkan anak muda seperti di Kota Kupang acapkali menggunakan kalung ini sehari-hari.
 
Saat ini telah banyak beredar muti salak imitasi, dibuat begitu mirip bahkan bagi orang awam tak mampu membedakan mana yang asli dan mana yang tiruan. Sehingga hanya orang yang paham benda bersejarah ini yang mampu menilai jenis dan bentuk muti salak yang benar-benar asli dan berharga tinggi dengan muti salak biasa atau tiruan. Muti salak memang terdiri dari beberapa jenis dan bentuk hingga juga dilengkapai dengan mata kalung atau juga sering disebut dengan mainan




Nama muti salak dalam beberapa literatur disebut dengan muti sala, muti salah atau juga dengan bahasa lokal anahida. Sedangkan dalam salah satu situs perhiasan manik-manik bernama Beadazzled, yang bermarkas di Amerika Serikat, disebutkan muti salak sebagai Kalung Naga (Orange Beads), dengan banderol harga $ 225,00 per kalung atau sekitar Rp. 2,2 juta.

Kini muti salak imitatif sering dijual oleh para pedagang keliling dari Kupang hingga di kota-kota kabupaten dan pelosok. Muti salak imitatif ini didatangkan dari Denpasar dan dijual secara grosir dan eceran. Di Kota Kupang sendiri anda dapat memilikinya dengan harga yang cukup murah mulai dari Rp. 50.000,-. Muti salak memang tak sekemilau mutiara namun memiliki nilai historis dan budaya yang tinggi.

Diolah dari berbagai sumber oleh penulis,
Kupang, 06 Maret 2012
@daonlontar.blogspot.com

comments

Catatan....!!!

Menulis bukan bakat, tetapi kemauan. Dalam kisah setiap orang pasti akan menuliskan apa ada yang ada di pikiran dan perasaannya.. Secara perlahan menulis mengantarkan seseorang menuju pencerahan, karena menulis membuat orang membaca dan sebaliknya membaca membuat orang menulis. Menulis merupakan pembelajaran, dan tidak hanya sekumpulan kalimat tetapi merupakan sekumpulan nilai dan makna. Kini cara menulis tidak lagi menggunakan pahat dan batu, tongkat dan pasir atau dengan kemajuan teknologi tidak lagi dengan tinta dan kertas tetapi sudah beranjak pada keyboard dan screen. Banyak kisah dan sejarah masa lalu yang tidak terungkap, karena tak ada yang mencatatnya atau bahkan lupa untuk mencatatnya. Mengutip kalimat singkat milik Pramoedya Anantatoer, “hidup ini singkat, kita fana, maka aku akan selalu mencatatnya! Agar kelak abadi di kemudian hari…” Catatan adalah sebuah kesaksian dan kadang juga menjadi sebuah pembelaan diri. Seseorang pernah memberiku sebuah diary, dengan sebuah catatan yang terselip. Kelak aku akan mengembalikannya dalam keadaan kosong karena aku telah mencatatnya di sini….!!!


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
;