Selasa, 19 April 2016

Budaya Kosu di Timor dan Ma’ Toding di Toraja


Budaya Kosu, foto: fb Atoni van Timor

Kebudayaan itu seperti spora yang yang terbawa angin, entah kemana dan kemudian akan tumbuh dan menjadi sebuah kebudayaan sebagai jejak dari kebudayaan asalnya, atau seperti biji-bijian yang di bawa burung dalam perutnya untuk dibuang ke ranah jauh, bertumbuh dan menjadi pohon kebudayaan yang baru di tanah tempat berlabuh. Sulit untuk menemukan asal muasal budaya karena budaya tumbuh tanpa pemberitahun, bergerak tanpa peta dan berkembang tanpa mengenal dimensi.

Budaya saweran misalnya telah dikenal diberbagai tempat dan daerah. Namun pola dan cara saweran bertumbuh dalam komunitas di mana budaya itu berkembang sesuai kontekstualisasi topografi alam, karakter, kebiasaan hingga hasil bumi.

Di jazirah Timor ada budaya Kosu, budaya berbentuk tarian dalam acara adat pernikahan (Rais Matsao) oleh Suku Amarasi. Di mana pada puncak acara para penari yang berasal dari sanak saudara dan handai-taulan mempelai perempuan menari dengan lantunan musik dan syair untuk mengiringi dan melepaskan seorang perempuan dari keluarga dan orang tuanya untuk memasuki rumah tangga yang baru bersama pasangannya. Uniknya cara para penari memberikan saweran kepada mempelai perempuan yaitu dengan cara menyelipkan uang kertas dengan berbagai nominal pada lidi-lidi yang ada di mahkota sanggul mempelai sambil terus menari sesuai dengan irama. Pemberian uang ini sebagai bahasa simbol bahwa sanak keluarga mendukung kedua mempelai, dengan membekali mereka untuk mulai membina rumah tangga baru.

Budaya Ma' Toding, foto: fb Wonderful Toraja

Tak berbeda cerita dengan budaya dari Timor. Di jazirah Sulawesi Selatan ada budaya Ma' Toding yaitu sebuah tradisi Orang Toraja, yang mana tuan rumah pesta dan para tamu undangan memberikan saweran kepada para penari dengan cara menyelipkan uang pada lidi-lidi di rambut/ikat kepala si penari. Budaya ini sebagai perwujudan nilai dari ungkapan rasa syukur dan suka cita keluarga dan kerabat yang mengadakan acara rambu tuka  atau acara syukuran.

Sepintas kemiripan budaya ini adalah sebuah metamorfosa, diantaranya cara mereka menempatkan uang saweran, yaitu di kepala yang telah diberikan lidi-lidi untuk disematkan lembaran uang. Entah bagaimana hingga pola saweran seperti ini berkembang, mungkin adalah sebuah penghargaan dengan memberikannya di bagian kepala, dibandingkan dengan memberikan secara langsung atau disakukan. 

Demikianlah budaya yang sejatinya dijaga dan dilestarikan, tanpa perlu diatur dan di bongkar pasang. Esensi budaya tetap dipelihara dalam semangat kebersamaaan, sehingga eksistensinya akan tetap hadir diruang-ruang yang membawa nilai pewarisan kultur dari generasi ke generasi. (*)

Kupang, 19 April 2016
©daonlontar.blogspot.com

comments

Catatan....!!!

Menulis bukan bakat, tetapi kemauan. Dalam kisah setiap orang pasti akan menuliskan apa ada yang ada di pikiran dan perasaannya.. Secara perlahan menulis mengantarkan seseorang menuju pencerahan, karena menulis membuat orang membaca dan sebaliknya membaca membuat orang menulis. Menulis merupakan pembelajaran, dan tidak hanya sekumpulan kalimat tetapi merupakan sekumpulan nilai dan makna. Kini cara menulis tidak lagi menggunakan pahat dan batu, tongkat dan pasir atau dengan kemajuan teknologi tidak lagi dengan tinta dan kertas tetapi sudah beranjak pada keyboard dan screen. Banyak kisah dan sejarah masa lalu yang tidak terungkap, karena tak ada yang mencatatnya atau bahkan lupa untuk mencatatnya. Mengutip kalimat singkat milik Pramoedya Anantatoer, “hidup ini singkat, kita fana, maka aku akan selalu mencatatnya! Agar kelak abadi di kemudian hari…” Catatan adalah sebuah kesaksian dan kadang juga menjadi sebuah pembelaan diri. Seseorang pernah memberiku sebuah diary, dengan sebuah catatan yang terselip. Kelak aku akan mengembalikannya dalam keadaan kosong karena aku telah mencatatnya di sini….!!!


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
;