Kamis, 20 Februari 2014

Lembur, Pulang Larut Malam


Ilustrasi: http://mikhamakalew.tumblr.com

Untuk kesekiankalinya pulang malam. Waktu yang sempit membuat kita seolah berpacu dalam pekerjaan dan pekerjaan harus segera diselesaikan (the point in time at which something must be completed). Entah sudah berapa banyak malam-malam yang dihabiskan dengan lembur. Pulang malam dengan suasana jalan yang hening ketika waktu telah menunjukkan hari baru, lewat tengah malam atau sesekali pulang di pagi hari. Pulang larut malam dengan kendaraan roda dua, menikmati alur membelah jalanan malam yang telah pekat oleh cahaya malam. Pulang malam membawa rasa letih, dan obat terbaik adalah sesegera mungkin terlelap dalam tidur. Lembur menjadi momok namun juga dinilai sebagai penambah kesejahteraan.

Begitu kerja telah menjadi bagian dari prioritas hidup, maka “lembur” akhirnya menghiasi pembendahaaraan kata dalam dunia pekerjaan. Kerja adalah aktivitas untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup. Kerja menuntut untuk mengolah sumber daya guna menghasilkan sesuatu yang berguna untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sejak awal manusia diciptakan, sejak saat itu pula manusia sudah harus bekerja. Namun pekerjaan saat itu tidaklah sekompleks pekerjaan saat ini, hanya sekedar memenuhi kebutuhan dasar. Dalam perkembangannya kemudian pekerjaan menjadi komoditas politik yang mempertemukan benturan pemikiran antara kapitalisme dan marxisme.

Lembur setidaknya mulai dikenal ketika Eropa telah memasuki industrialisme, dimana para buruh dipaksa untuk menambah hari kerja sekaligus menambah jam kerja. Namun sayangnya para buruh tidak mengalami peningkatan kesejahteraan. Hingga kini lembur menjadi hal umum dikenal dalam perusahaan yang bergerak baik di industri rill maupun non rill. Menurut peraturan saat ini waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari untuk 6 (enam) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam dalam seminggu atau 8 (delapan) jam sehari untuk 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam dalam seminggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan Pemerintah. Sementara itu waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam/hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu diluar istirahat mingguan atau hari libur resmi. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana dengan lembur yang melebihi 3 (tiga) jam bahkan bekerja hingga pagi hari.

Apa yang menjadi salah dengan lembur. Di saat ini banyak juga yang menempatkan kerja sebagai tujuan hidup dengan menyandang gelar workaholic, namun sebagai manusia kita butuh juga relaksasi dan butuh kesantaian. Seharusnya kerja memperlihatkan kualitasnya bukan dari penambahan kuantitas jam kerja. Mungkin hanya persoalan manajemen waktu yang tidak dikelola dengan baik, sehingga apa yang kemudian disebut deadline seharusnya tidak ada, dengan fokus pada pembagian kerja yang lebih merata, proporsional dan lebih humanis. Demikian pula bahwa lembur seharusnya tidak ada, bila mesin dan teknologi telah membantu manusia menambah jam bersantai dan mengurangi jam kerja.

Paul Lafargue
Photo: http://www.kersplebedeb.com
Seorang sosialis asal Prancis, Paul Lafargue (1842-1911) memahami kerja sebagai aktivitas yang tidak masuk akal, bahkan hingga menilai bahwa kerja bukanlah kebutuhan organik manusia. Manusia dipaksa untuk bekerja memproduksi barang dan jasa secara berlebihan, hasil lebih itu yang kemudian menciptakan pasar tambahan yang dipaksakan untuk menyerap. Terlepas dari pandangannya saat itu erat kaitan dengan kondisi masa tersebut, namun dibandingkan dengan saat ini yang terjadi adalah pasar konsumsi massal, tetapi setidaknya kita dapat meresapi apa yang menjadi pemikiran bagi Lafargue secara pribadi. Misalnya pada abad ke-18, dimulai kerja lembur yang luar biasa yaitu 12-16 jam sehari semalam. Jam kerja begitu dikalilipatkan hingga saat ini, yang dihitung sebagai lembur. Sangat kontra dengan pendapat Paul Lafargue bahwa di masa depan manusia pekerja seharusnya bekerja tak lebih dari 3 jam sehari.

Berangkat dari prihal di atas bahwa dengan terjadinya peningkatan dalam kemajuan teknologi, maka pekerjaan manusia sangat terbantukan. Dengan teknologi dan mesin, pekerjaaan bisa dilakukan secara cepat dan menghasilkan kuantitas yang lebih banyak. Seharusnya thesis Lafargue benar bahwa dengan kemajuan teknologi saat ini justru memudahkan manusia dalam bekerja, banyak jam yang bisa dihemat dalam kerja untuk digunakan beristirahat dan bersantai. Namun apa yang terjadi kemudian, justru dengan kemajuan teknologi manusia semakin bertambah beban kerjanya, dengan alasan maksimalisasi profit, sehingga manusia dan mesin seolah berkompetisi. Seperti pepatah “cepat ada yang di kejar, lambat ada yang di tunggu”. (*)

Pulang larut malam!
Kupang, 20 Februari 2014 
©daonlontar.blogspot.com

comments

Catatan....!!!

Menulis bukan bakat, tetapi kemauan. Dalam kisah setiap orang pasti akan menuliskan apa ada yang ada di pikiran dan perasaannya.. Secara perlahan menulis mengantarkan seseorang menuju pencerahan, karena menulis membuat orang membaca dan sebaliknya membaca membuat orang menulis. Menulis merupakan pembelajaran, dan tidak hanya sekumpulan kalimat tetapi merupakan sekumpulan nilai dan makna. Kini cara menulis tidak lagi menggunakan pahat dan batu, tongkat dan pasir atau dengan kemajuan teknologi tidak lagi dengan tinta dan kertas tetapi sudah beranjak pada keyboard dan screen. Banyak kisah dan sejarah masa lalu yang tidak terungkap, karena tak ada yang mencatatnya atau bahkan lupa untuk mencatatnya. Mengutip kalimat singkat milik Pramoedya Anantatoer, “hidup ini singkat, kita fana, maka aku akan selalu mencatatnya! Agar kelak abadi di kemudian hari…” Catatan adalah sebuah kesaksian dan kadang juga menjadi sebuah pembelaan diri. Seseorang pernah memberiku sebuah diary, dengan sebuah catatan yang terselip. Kelak aku akan mengembalikannya dalam keadaan kosong karena aku telah mencatatnya di sini….!!!


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
;