Jumat, 31 Januari 2014

Soul brief for the end of January, 2014


picture: tresscox.com.au
Tiga puluh satu hari bergeser dari awal tahun 2014, tak terasa waktu bergulir begitu cepat. Namun bulan ini berbeda karena begitu serasa panjang, bulan dengan rutinitas kerja yang tinggi dan beberapa kali harus pulang pagi, seolah tak ada hari untuk libur. Bulan dengan begitu banyak hal yang harus dilakukan segera dengan jumlah jam tidur yang berkurang. Pekerjaan seperti mengalihkan perhatian dari esensi Januari, sebagai bulan pembuka di setiap tahunnya, bulan yang seharusnya dipenuhi dengan konsep bukan hal teknis, bulan yang seharusnya dipenuhi mimpi-mimpi bukan hal-hal praktis. Januari dengan jumlah hari yang lebih menjadi penanda jejak, setahun, empat tahun atau berpuluh-puluh tahun yang lalu. Di bawah pohon itu, dibawah naungan koridor, dibawah atap bangunan besar, di sofa biru hingga malam panjang yang datang berbisik. Masihkah itu dalam kenangan, atau kah sang raksasa waktu telah menelannya. 

Hari-hari di Januari seperti lambat berjalan, sebagian orang lebih memilih berada di rumah dibandingkan di luar rumah, memang di bulan ini intensitas hujan cukup tinggi dengan angin yang bertiup keras hingga membuat pepohanan melambai-lambai garang seolah baru saja kehilangan kekasihnya. Kadang kala angin kering yang bertiup, menciptakan rasa sepi dan sepi, masihkah keramaian itu datang dengan canda tawa di hari-hari yang lalu. Bulan dengan siang yang lebih panjang daripada malam, memperlihatkan senja yang datang terlambat dan fajar yang datang lebih awal. Bulan yang dikala lalu sempat membuatku harus menunggu sebulan, untuk mengumpulkan energi keberanian untuk berkata hal yang tak seharusnya dikatakan!. Di saat kini pulang malam atau pulang pagi, menyisakan jalanan yang hening, masihkah ada yang berpikir ini bulan Januari, bulan di penghujang akhir sebagai pertemuan terakhir. 

Saya hampir selalu menulis di akhir Januari, entah dorongan kenangan yang menuntut untuk selalu menuliskan di akhir Januari ini, ada semacam hal yang digantung untuk kemudian harus dibaringkan ke tempat selayaknya. Semacam jiwa ini perlu diberi permenungan agar semakin dewasa dan bijak. Bukankah kita dahulunya adalah jiwa-jiwa yang bebas kemudian terlahirkan, dibesarkan dalam realitas dan didewasakan dengan permasalahaan, untuk kemudian dibebaskan kembali menjadi jiwa-jiwa yang bebas. Sekedar menjadi manusia yang terus memelihara ingatan, terus berjalan dengan selalu menoleh ke belakang untuk mengukur seberapa jauh kita telah melangkah dari tempat mengawali, agar kelak mungkin kita bisa kembali mengenang jika jalan didepan kita telah memberikan hakikat sesungguhnya tentang kehidupan. Entah disana sempatkah memikirkan hal yang sama!. (*)

Kupang, 31 Januari 2014
©daonlontar.blogspot.com

comments

Catatan....!!!

Menulis bukan bakat, tetapi kemauan. Dalam kisah setiap orang pasti akan menuliskan apa ada yang ada di pikiran dan perasaannya.. Secara perlahan menulis mengantarkan seseorang menuju pencerahan, karena menulis membuat orang membaca dan sebaliknya membaca membuat orang menulis. Menulis merupakan pembelajaran, dan tidak hanya sekumpulan kalimat tetapi merupakan sekumpulan nilai dan makna. Kini cara menulis tidak lagi menggunakan pahat dan batu, tongkat dan pasir atau dengan kemajuan teknologi tidak lagi dengan tinta dan kertas tetapi sudah beranjak pada keyboard dan screen. Banyak kisah dan sejarah masa lalu yang tidak terungkap, karena tak ada yang mencatatnya atau bahkan lupa untuk mencatatnya. Mengutip kalimat singkat milik Pramoedya Anantatoer, “hidup ini singkat, kita fana, maka aku akan selalu mencatatnya! Agar kelak abadi di kemudian hari…” Catatan adalah sebuah kesaksian dan kadang juga menjadi sebuah pembelaan diri. Seseorang pernah memberiku sebuah diary, dengan sebuah catatan yang terselip. Kelak aku akan mengembalikannya dalam keadaan kosong karena aku telah mencatatnya di sini….!!!


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
;