Kamis, 31 Oktober 2013

Novel dan Film, Karya Pamusuk Eneste

Buku ini terbilang salah satu yang unik, dapat dinilai dari seringnya buku ini disebut-sebut dalam artikel yang berkaitan dengan tinjauan tentang filmisasi karya sastra dalam hal ini novel. Tak jarang buku ini juga di cari-cari hingga ke sosial media online oleh para calon peneliti, mahasiswa bahkan kalangan umum sebagai referensi dalam kaitan penulisan kajian sastra tulis yang diangkat menjadi film. Namun sayang buku ini hanya sekali dicetak dan diterbitkan pada tahun 1991 oleh Penerbit Nusa Indah, Ende - Flores, selebihnya buku ini hanya ditemukan dalam bentuk fotocopy-an dan sudah menjadi buku langkah yang tidak lagi ditemukan di toko-toko buku, kalaupun ada mungkin hanya ada dibeberapa perpustakaan tertentu saja yang masih menyimpannya sebagai koleksi.

Di sampul belakang buku ini tertulis “dari tahun ke tahun banyak bermunculan film yang didasarkan pada novel” .... “sampai kini sangat sukar menemukan buku yang secara khusus membahas hubungan antara novel dengan film”. Dan memang benar hingga kini masih sulit menemukan bahan referensi dalam penulisan ilmiah tentang film dan novel (sastra). Buku yang  ditulis oleh Pamusuk Eneste ini sebagian diangkat dari skripsinya tahun 1977 pada Fakultas Sastra UI. Hal yang mendasari keinginan penulis untuk menuliskan buku ini diantaranya adalah semakin banyak bermunculan film-film yang didasarkan pada novel, hakikat novel dan film yang kurang dipahami sehingga dapat memunculkan rasa ketidakpuasan baik oleh pengarang maupun penonton terhadap film yang didasarkan pada novel. Dan masih menurut penulis bahwa bacaan yang menghubungkan novel dan film masih langkah serta beberapa pandangannya dalam buku ini masih dianggap aktual dan relevan diperbincangkan hingga hari ini. Pamusuk juga telah menerbitkan puluhan buku yang berkaitan dengan sastra.

Buku ini terasa menambah keilmuan sastra dan film, walau masih menggunakan contoh novel dan film dimasanya. Khususnya dalam bentuk kajian ekranisasi yang mengemuka di Indonesia sekitar tahun 70-an. Sedangkan di Amerika sudah dimulai sejak tahun 50-an, dengan muncul buku dengan tema novel dan film yang ditulis oleh George Bluestone berjudul Novels into Film. Namun hingga kini tak ada buku terbitan Indonesia yang muncul kemudian sebagaimana telah dirintis oleh Pamusuk Eneste dalam buku setebal 76 halaman ini. Dalam buku ini Pamusuk menghindari menggunakan istilah adaptasi dari novel tetapi lebih menggunakan istilah ekranisasi. Istilah ini berasal dari bahasa Prancis, écran yang berarti layar. Ekranisas berarti pemindahan novel ke layar putih atau dengan kata lain memfilmkan novel.

Satu kesan yang selalu kita harapkan dari sebuah film yang diadaptasi dari novel yang telah kita baca adalah, bahwa film harus sama persis seperti apa yang terurai dalam novel. Namun banyak hal yang kita tidak bisa pahami sebagai penonton, seolah para pembuat film bebas mengkreasikan apa yang akan diperlihatkan dalam film nantinya. Bahkan novel yang dijadikan film telah kehilangan unsur keindahan sastranya yang terjebak pada plastic material visual, sehingga memanipulasi keindahan gaya bahasa dan cara pengisahan yang lazim dijadikan kekuatan sastra dalam novel. Sebagaimana apa yang ada dalam novel penggambarannya menggunakan media bahasa atau kata-kata, sedangkan dalam film semua itu diwujudkan melalui gambar-gambar bergerak yang mengisahkan suatu rangkaian cerita. Ketika kata-kata telah menjadi sesuatu yang audio-visual.

ilustrasi: http://www.heyuguys.co.uk

Belum lagi dengan adanya penciutan cerita dan waktu dalam durasi film yang singkat, muncul berbagai variasi dalam film, penambahan dan atau perluasan serta pengembangan cerita sebagai bentuk transformasi karya sastra ke film yang menyebabkan terjadi berbagai perubahan. Namun dibalik itu saya menyukai beberapa film yang telah saya tonton yang asalnya diangkat dari kisah novel, dan menurut saya menjadi film yang sangat baik seperti Oliver Twist, Life of Phi, Count of Monte Carlo, The Shawshank Redemption, No Country For Old Men, Shutter Island  dan The Help. Sedangkan untuk film nasional seperti tampak pada film Ayat-Ayat Cinta, Laskar Pelangi dan 5 Cm. Satu film karya besar yang ditunggu-tunggu anak negeri pecinta sastra dan film adalah kehadiran roman “Bumi Manusia” dalam bentuk film yang pernah diupayakan tahun 2004 oleh Citra Sinema, namun sepertinya gagal dan kini sedang diupayakan lagi oleh Miles Production sejak tahun 2009. Seperti mengena pada esensi buku ini, begitu sulitnya mengangkat karya sastra yang terbilang masterpiece milik Pramoedya Ananta Toer kedalam film seperti yang anda temukan dalam pembahasan buku ini!. Sehingga adanya buku ini untuk menjawab bagaimana kesiapan penonton menghadapi film yang tidak sesuai dengan alur dan cerita dalam novel. (*)


Kupang, 31 Oktober 2013
©daonlontar.blogspot.com

comments

Catatan....!!!

Menulis bukan bakat, tetapi kemauan. Dalam kisah setiap orang pasti akan menuliskan apa ada yang ada di pikiran dan perasaannya.. Secara perlahan menulis mengantarkan seseorang menuju pencerahan, karena menulis membuat orang membaca dan sebaliknya membaca membuat orang menulis. Menulis merupakan pembelajaran, dan tidak hanya sekumpulan kalimat tetapi merupakan sekumpulan nilai dan makna. Kini cara menulis tidak lagi menggunakan pahat dan batu, tongkat dan pasir atau dengan kemajuan teknologi tidak lagi dengan tinta dan kertas tetapi sudah beranjak pada keyboard dan screen. Banyak kisah dan sejarah masa lalu yang tidak terungkap, karena tak ada yang mencatatnya atau bahkan lupa untuk mencatatnya. Mengutip kalimat singkat milik Pramoedya Anantatoer, “hidup ini singkat, kita fana, maka aku akan selalu mencatatnya! Agar kelak abadi di kemudian hari…” Catatan adalah sebuah kesaksian dan kadang juga menjadi sebuah pembelaan diri. Seseorang pernah memberiku sebuah diary, dengan sebuah catatan yang terselip. Kelak aku akan mengembalikannya dalam keadaan kosong karena aku telah mencatatnya di sini….!!!


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
;