Senin, 17 September 2012

Kupang in Sketch by Eric Thake



Eric Thake (1904-1982) adalah seorang seniman Australia. Ia terkenal dengan konsep surealisme untuk menangkap suasana dari pemandangan yang dilihatnya. Ia memproduksi cetakan, gambar, lukisan cat air dan foto, serta karya-karyanya dipertunjukan di galeri seni nasional Australia dan luar negeri. Pada tahun 1943, Thake terdaftar di Angkatan Udara Royal Australia (RAAF) dengan semula bekerja sebagai juru gambar. Dan karena bakatnya ia kemudian diangkat sebagai seniman perang (warartist) di tahun 1944 pada liputan sejarah Perang Dunia II. 
 
http://www.warmuseum.ca
Selama dua tahun berikutnya ia pergi ke Australia Tengah dan Utara, serta daerah-daerah yang baru dibebaskan tentara sekutu yaitu Timor dan Irian Barat. Dalam tugasnya ia mengamati, mencatat dan mengambar puing-puing bekas peperangan dengan unsur surealisnya tanpa bermaksud berpropaganda. Salah satu memori yang ditinggalkan kepada keluarganya adalah sketsa dan catatan dari perjalanannya dalam tiga rangkaian bundel spiral terikat (Sketchbook). Tiga spiral sketsa itu terdiri dari buku sketsa 1: Melbourne ke Townsville 1944; buku sketsa 2: Townsville ke Melbourne 1944-1945 dan buku sketsa 3: Melbourne ke Koepang 1945. Dalam Sketchbook yang terakhir memuat sketsa perjalanan Thake dari Melbourne ke Koepang melalui Darwin pada tahun 1945, yang disertai juga dengan catatan pengamatannya.

Berikut adalah sketsa gambar halaman 108-113 & 115, hasil goresan tangan Eric Thake yang diambil di sini, yang memuat gambar dan kesan dalam pejalanannya di Kota Kupang:

108) Koepang, Dutch Timor, 7.10.45
Ini adalah sketsa gambar pantai Kupang dengan bekas puing-puing pemboman pada Perang Dunia II. Masih tampak bangunan-bangunan yang masih kokoh namun sudah rusak berat. Thake merasakan bahwa sebelum perang bangunan-bangunan di tepi pantai terlihat sangat indah, rumah-rumah berdinding putih dengan lantai ubin berwarna merah sedangkan kusen kayu dicat berwarna biru pucat. Ia mengambil gambar dari pandangan Fort Concordia di mana tempat Kapten Blight berlabuh pada akhir pelayarannya dengan perahu terbuka dari Tahiti.

109) Water Buffaloe, Koepang, 9.10.45

Pada sketsa ini ia mengutarakan belum pernah melihat binatang kerbau air yang besar dengan warna keabu-abuan yang berada disemak-semak dan pemalu terhadap manusia. Pemandangan yang kini mustahil kita melihatnya lagi di Kota Kupang.

110) Jap prisoners, Penfoei airstrip, Koepang, 12.10.45

Sketsa ini adalah gambaran tahanan Jepang yang dipekerjakan di Penfoei. Ia menjelaskan topi khas tentara Jepang dengan kain di bagian belakang yang menyerupai ekor.

111) Native boys, Baumata village, Koepang, 13.10.45

Sehari sebelum pulang kembali ke Darwin, Thake menghabiskan waktu di Desa Baumata. Ia sempat membuat sketsa penduduk asli Baumata dan menuturkan bahwa penduduk mengenakan sarung berwarna merah dan putih dengan dilengkapi destar, serta menggunakan selendang di bahu. Selain itu dari anak-anak hingga orang dewasa masing-masing membawa parang besar dalam sarung yang diselipkan di belakang ikat pinggang mereka. Thake juga dibuat heran dengan kemampuan anak-anak memotong kelapa dengan parang, dan jika saja meleset tentu akan memotong jari sendiri. Dalam sketsa tampak seorang membawa kelapa dan keranjang dengan tongkat, di tangan kirinya memakai gelang logam berat. Sedangkan gambar yang lain terlihat orang sedang membawa parang, wadah air dari bambu dan memakai topi anyaman. Serta gambar buah sukun, pisang dan ikan.

112) Timor boys, Baumata village, 13.10.45

Ada juga sketsa anak muda Timor, sambil duduk-duduk di bangku bambu dan salah seorangnya menggunakan buah kelapa kosong untuk pijakan kaki.

113) The Lions of Koepang, 13.10.45

Thake juga mengunjungi kuil Cina dengan dinding dilapisi porselen indah berwarna hijau. Terdapat dua patung singa penjaga gerbang bangunan kuil Cina di tepi Pantai Koepang. Menurut Thake patung-patung itu terlihat menawan walaupun sederhana. Patung singa ditutupi seluruhnya dengan pecahan porselin Cina. Sisi mereka adalah warna cokelat tua yang terbuat dari potongan mangkuk besar, dada dan perut ditutupi dengan sisik yang terbuat dari batu giok hijau dari piring. Sedangkan pada surai dan ekor berwarna hijau dan biru. Mata singa terbuat dari cangkir putih bundar dengan lubang di tengah, sepotong kaca hitam membentuk pupil mata, kaki kanan dari satu singa dan kaki kiri dari singa yang lain bertumpu pada bola hitam yang dihias dengan pola bunga putih. Dibelakangnya terdapat dinding porselen panjang berwarna hijau. Dari kuil itu akan terlihat juga rumah-rumah yang dibangun di atas air tepat di tebing karang yang rendah dan melihat penduduk pribumi naik sepeda perlahan di sepanjang pantai. Kuil ini biasa di sebut orang Kupang dengan kongsi Cina, namun sekarang telah tiada digantikan dengan barisan pertokoan.


115) Peta perjalanan Eric Thake

Demikianlah sebagian sketsa dan catatan perjalanannya Eric Thake di Kota Kupang. Walau hanya 2 ½ minggu berada di Kupang, Thake setidaknya telah memberi sedikit catatan yang menjadi kenangan Kota Kupang di masa berakhirnya Perang Dunia II. Sebuah karya seni yang dari sudut pandang orang tertentu memiliki nilai sejarah dan estetika yang tinggi. Sebenarnya masih banyak catatan-catatan tentang Kota Kupang di masa lalu yang tersimpan rapi oleh para petualang dan belum terpublikasikan, bahkan hingga beberapa abad yang lampau. (*)

Kupang, 17 September 2012
©daonlontar.blogspot.com

comments

Catatan....!!!

Menulis bukan bakat, tetapi kemauan. Dalam kisah setiap orang pasti akan menuliskan apa ada yang ada di pikiran dan perasaannya.. Secara perlahan menulis mengantarkan seseorang menuju pencerahan, karena menulis membuat orang membaca dan sebaliknya membaca membuat orang menulis. Menulis merupakan pembelajaran, dan tidak hanya sekumpulan kalimat tetapi merupakan sekumpulan nilai dan makna. Kini cara menulis tidak lagi menggunakan pahat dan batu, tongkat dan pasir atau dengan kemajuan teknologi tidak lagi dengan tinta dan kertas tetapi sudah beranjak pada keyboard dan screen. Banyak kisah dan sejarah masa lalu yang tidak terungkap, karena tak ada yang mencatatnya atau bahkan lupa untuk mencatatnya. Mengutip kalimat singkat milik Pramoedya Anantatoer, “hidup ini singkat, kita fana, maka aku akan selalu mencatatnya! Agar kelak abadi di kemudian hari…” Catatan adalah sebuah kesaksian dan kadang juga menjadi sebuah pembelaan diri. Seseorang pernah memberiku sebuah diary, dengan sebuah catatan yang terselip. Kelak aku akan mengembalikannya dalam keadaan kosong karena aku telah mencatatnya di sini….!!!


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
;