Senin, 10 September 2012

Krakatoa: The Last Days




Semalam tanpa direncanakan saya menonton film yang ditayangkan Metro Tv, film berjudul Krakatoa: The Last Days. Sebuah film drama dokumenter produksi BBC (British Broadcasting Corporation) yang disutradarai oleh Sam Miller dan telah dirilis tahun 2006, namun sekarang baru saya menontonnya. Film yang mengisahkan letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883 dengan latar belakang kehidupan penduduk disekitarnya. Gunung berapi ini berada di Selat Sunda antara Pulau Jawa dan Sumatra yang letusannya kala itu mengakibatkan gempa, tsunami, hujan abu dan gelombang panas yang menghujam daratan. Dampak letusan berakibat pada kerusakan alam lebih dari 18 kilometer dan menewaskan lebih dari 36.000 jiwa. 

Film ini memuat rangkaian cerita tentang kehidupan keluarga seorang kontrolir, Willem Beijerinck di Desa Ketimbang pesisir selatan Sumatera, yang bertugas mengawasi pertumbuhan dan perkembangan daerah koloni Belanda. Selain itu ada Keluarga Jacob Schuits yang bekerja sebagai penjaga mercusuar di pesisir barat Jawa, serta Kapten J. H. Lindeman yang kebetulan sedang berlayar dengan kapal penumpang di sekitar Gunung Krakatao. Film ini berdasarkan catatan kesaksian yang diceritakan kembali oleh seorang vulkanolog Belanda, Rogier Diederik Marius Verbeek, serta catatan saksi mata lainnya diantaranya Kapten W.J. Watson dan Johanna Beijerinck (isteri Willem Beijerinck).



Cuplikan Krakatoa: The Last Days

Sudut pandang lain dari kisah film ini adalah relasi antara pegawai kolonial, penduduk pribumi, orang Cina hingga budak dan hubungan antara kuli dan tuan yang menariknya dalam setting cerita tempo doloe. Namun kejanggalan dalam film ini terlihat ketika terdapat dialog bahasa melayu yang terdengar kaku, begitupun pemeran utama pribumi juga terlihat bukan sebagai orang melayu tetapi seperti orang Indo yang tidak fasih berbahasa melayu. Setelah mencari informasi, ternyata lokasi syuting film pengambilan gambar ini bukan di Indonesia melainkan di kawasan pantai Afrika Selatan dan Madagascar, dengan tampilan gambar Gunung Krakatau hanya sebagai stock footage. Sedangkan pemeran figuran penduduk pribumi tidak diketahui apakah asli orang Indonesia atau tidak, namun ada juga riset yang menyebutkan bahwa penduduk Madagascar juga punya gen keturunan Jawa. mengherankan bukan!

Terlepas dari kekurangan tersebut, film ini telah menyajikan sebuah kilas kehidupan jaman kolonial dengan tampilan visual yang menarik sehingga menjadi film edukatif yang mengesankan. Jika seandainya film-film tema kolonial di nusantara dihidupkan, tentu menjadi sesuatu yang manarik bagi para pengagum sejarah. Apalagi sejarah tidaklah selalu sesuatu yang tertulis tetapi sesuatu yang terus diintepretasikan. (*)

Kupang, 10 September 2012
©daonlontar.blogspot.com



comments

Catatan....!!!

Menulis bukan bakat, tetapi kemauan. Dalam kisah setiap orang pasti akan menuliskan apa ada yang ada di pikiran dan perasaannya.. Secara perlahan menulis mengantarkan seseorang menuju pencerahan, karena menulis membuat orang membaca dan sebaliknya membaca membuat orang menulis. Menulis merupakan pembelajaran, dan tidak hanya sekumpulan kalimat tetapi merupakan sekumpulan nilai dan makna. Kini cara menulis tidak lagi menggunakan pahat dan batu, tongkat dan pasir atau dengan kemajuan teknologi tidak lagi dengan tinta dan kertas tetapi sudah beranjak pada keyboard dan screen. Banyak kisah dan sejarah masa lalu yang tidak terungkap, karena tak ada yang mencatatnya atau bahkan lupa untuk mencatatnya. Mengutip kalimat singkat milik Pramoedya Anantatoer, “hidup ini singkat, kita fana, maka aku akan selalu mencatatnya! Agar kelak abadi di kemudian hari…” Catatan adalah sebuah kesaksian dan kadang juga menjadi sebuah pembelaan diri. Seseorang pernah memberiku sebuah diary, dengan sebuah catatan yang terselip. Kelak aku akan mengembalikannya dalam keadaan kosong karena aku telah mencatatnya di sini….!!!


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
;