Jumat, 06 Juli 2012

Tetralogi Buru (The Buru Quartet): Karya Pramoedya Ananta Toer


Di suatu tengah malam, seorang teman mengajak keluar hotel mencari santap malam. Walau tidak dalam keadaan lapar saya pun nurut saja. Kota metropolitan Jakarta membuat insomnia seolah kambuh. Kami menyusuri Jalan KH. Agus Salim, dahulunya jalan ini bernama Jalan Sabang, sehingga lebih dikenal dengan kawasan Sabang, Jakarta Pusat. Kami singgah di sebuah warung tenda dan memesan ikan bakar lalapan. Memang tidak lengkap jika menunggu, menikmati dan mengakhiri santap malam tanpa di temani para pengamen dan peminta-minta. Namun ada juga beberapa pedagang yang membawa banyak buku-buku jualan. Disinilah baru saya melihat pedagang buku yang mobile dari satu warung tenda ke warung tenda yang lainnya, sambil membawa banyak tumpukan buku. Buku yang ditawarkan bermacam-macam ada yang asli ada juga yang bajakan. Buku bajakan dapat dikenali dari warna sampul buku yang berbeda dari sampul buku yang sama dijual di Toko Buku Gramedia. Tetapi ada yang menarik dari tumpukan buku yang dibawa oleh bapak-bapak penjual buku itu, yaitu buku-buku Tetralogi Buru karya Pramodya Ananta Toer serta buku Pramodya lainnya. Harga yang tertera di sampul cenderung tinggi sehingga perlu untuk ditawar. Dengan penawaran, saya mendapatkan harga yang sangat murah dibandingkan dengan harga pasaran yang saya ketahui. Hingga membawa pulang kembali ke hotel satu set novel Tetralogi Buru, yang terdiri empat judul buku  (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca).

Dari keempat buku terbitan Lentera Dipantara yang saya beli, ternyata tidak memiliki edisi cetakan yang sama: Bumi Manusia, cetakan ke-16 Oktober 2010, Anak Semua Bangsa, cetakan ke-13 September 2011, Jejak Langkah, cetakan ke-9 Februari 2012 dan Rumah Kaca, cetakan ke-9 September 2011. Hal ini menandakan bahwa banyak yang menikmati tetralogi ini secara parsial sehingga tidak melihat mindset secara keseluruhan bagan cerita dari sang pengarangnya. Memang keempat roman ini menampilkan karakter yang berbeda-beda dalam satu mainstream kisah yang sama. Bumi Manusia lebih mengisahkan kehidupan manusia dalam pertentangan kelas di zaman kolonial. Anak Semua Bangsa mengurai kehidupan dari struktur budaya, sosial dan hukum. Jejak langkah menitikberatkan pada organisasi perjuangan, sedangkan Rumah Kaca lebih pada politik kolonial dalam mempertahankan kekuasaannya di negeri Hindia. Butuh waktu dua minggu untuk menyelesaikan membaca empat buku ini, memang harus banyak waktu yang diluangkan untuk membaca buku ini dan kebanyakan saya lakukan menjelang tidur. Sulitnya adalah ketika menemukan momentum yang dapat mencegah untuk berhenti membaca, inginnya terus membaca padahal malam telah jauh. Inilah pertama kali saya membaca roman dari empat buku yang tidak terputus, yang kira-kira digabungkan setebal 13,5 centimeter dengan 2.438 halaman atau setara dengan 170-an halaman per malam.

Di sebut Tetralogi Buru (The Buru Quartet) karena ditulis Pramodya Ananta Toer dalam masa penahanan di Pulau Buru. Ia menulis empat kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Ditulis pada tahun 1975 namun sebelumnya telah menjadi sastra lisan, yang selalu Ia ceritakan kepada teman-temannya di Pulau Buru. Tokoh utama dari kronik novel ini adalah Minke, seorang bangsawan kecil Jawa yang didasarkan pada kisah RM Tirto Adisuryo, seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi, sebuah organisasi nasional pertama. Kisah Tetralogi Buru ini melingkupi masa antara tahun 1898 hingga tahun 1918, masa di mana muncul pemikiran politik etis dan juga masa awal periode Kebangkitan Nasional yang merangsang pertumbuhan organisasi modern nasional. 

Jika memilih mana yang terbaik dari keempat buku tetralogi ini, maka saya memilih Bumi Manusia. sebagaimana judulnya bumi manusia, bahwa dari bumi ini menghadirkan banyak kisah. Disinilah bermula perkenalan terhadap para tokoh utama, disinilah akar permasalahan mulai diurai, tumbuh dan berkembang seterusnya hingga berakhir pada buku keempat. Disinilah kisah percintaan indah yang pernah terjadi, disinilah bermula pertikaian antara pribumi dan golongan kulit putih


Novel Bumi Manusia pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Hasta Mitra tahun 1980, penerbitan awal terbilang sulit karena merupakan karya dari eks tapol yang bagi penerbit lainnya tidak berani menanggapinya. Namun penerbitan awal dari satu bagian tetralogi ini mendapatkan sambutan yang baik, bahkan sejumlah penerbit luar negeri ingin mendapatkan hak terjemahan. Tidak hanya itu masyarakat mengapresiasi penerbitan tersebut dengan menyebutnya sebagai karya sastra terbaik, yang kemudian juga mendapat trade mark sebagai “Sumbangan Indonesia untuk dunia.” Namun berselang setahun buku Bumi Manusia dilarang karena dianggap mempropagandakan ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme dan Komunisme yang menyebabkan keresahan di masyarakat. Ganjilnya buku tersebut tidak terdapat paham yang dimaksud, sebaliknya lebih pada paham nasionalisme terhadap kolonialisasi pendudukan Belanda. Selain diterjemahkan dalam berbagai bahasa, Bumi Manusia juga telah di sulih suara menjadi cerita bersambung di Radio 68H di tahun 2002 dan sejak tahun 2006 mulai dipentaskan dalam bentuk teater. Kabarnya di tahun ini akan di-launching film Bumi Manusia oleh Miles Production.


Secara keseluruhan Tetralogi Buru, berkisah tentang Minke yang bersekolah di HBS hingga Mingke yang menemui ajal karena penyakit yang dideritanya dan kemudian dimakamkan. Dari mulai menulis di koran hingga mendirikan penerbitan sendiri. Dari mulai pernikahan pertama hingga untuk yang ketiga kalinya. Dari masa ketika berada di Wonokromo hingga masa pembuangan di Kota Ambon. Menampilkan banyak tokoh dengan berbagai karakter protogonis dan antagonis, mulai dari Nyai Ontosoroh, Robert Mallema, Annelies Malema, Jean Marais, May Saroh, Robert Suurhof, Ang San Mei, Jacques Pangemanan dan masih banyak lagi. Banyak kisah dibalik kisah dalam tetralogi ini yang membuat semakin menarik dan seru, bahwa sisi kehidupan manusia sangat kompleks, saling kait mengkait yang menghubungkan setiap manusia dengan permasalahannya. Disinilah terlihat kemampuan pengarang, membawa pembacanya terpaut dekat dengan para tokoh, seakan berjalan bersama mereka, seolah hidup dalam klimaks-klimaksnya sehingga pembaca layaknya menjadi saksi bisu.

Pramoedya Ananta Toer (1925-2006), merupakan salah satu lagenda sastra Indonesia dan juga dunia, karena karya-karya beliau telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing. Ada 50-an buku karya Pramodya, namun diantaranya tidak ditemukan lagi karena beberapa alasan seperti hilang ditangan penerbit, dirampas oleh marinir Belanda, dibakar oleh militer Indonesia, hingga di cekal Pemerintah melalui keputusan Jaksa Agung. Bukunya dilarang beredar dan Ia ditahan tanpa pengadilan di Nusa-kambangan hingga akhirnya di Pulau Buru di Kawasan Timur Indonesia. Karya-karyanya menggetarkan dunia sehingga Ia beberapa kali dicatat sebagai nominasi penerima Nobel bidang sastra. Menarik alasannya produktif menulis karena merasa tidak akan berumur panjang, namun sebaliknya  justru ia bisa mencapai umur 81 Tahun. Hanya karena fisik dan kepikunan di masa tua yang membuatnya berhenti menulis sejak umur 71 tahun. Menurutnya, karya-karya yang telah dihasilkan sebagai anak-anak jiwa yang terbang bebas setelah didewasakan dengan pena dan mesin tiknya.(*)

Kupang, 06 Juli 2012
©daonlontar.blogspot.com


comments

Catatan....!!!

Menulis bukan bakat, tetapi kemauan. Dalam kisah setiap orang pasti akan menuliskan apa ada yang ada di pikiran dan perasaannya.. Secara perlahan menulis mengantarkan seseorang menuju pencerahan, karena menulis membuat orang membaca dan sebaliknya membaca membuat orang menulis. Menulis merupakan pembelajaran, dan tidak hanya sekumpulan kalimat tetapi merupakan sekumpulan nilai dan makna. Kini cara menulis tidak lagi menggunakan pahat dan batu, tongkat dan pasir atau dengan kemajuan teknologi tidak lagi dengan tinta dan kertas tetapi sudah beranjak pada keyboard dan screen. Banyak kisah dan sejarah masa lalu yang tidak terungkap, karena tak ada yang mencatatnya atau bahkan lupa untuk mencatatnya. Mengutip kalimat singkat milik Pramoedya Anantatoer, “hidup ini singkat, kita fana, maka aku akan selalu mencatatnya! Agar kelak abadi di kemudian hari…” Catatan adalah sebuah kesaksian dan kadang juga menjadi sebuah pembelaan diri. Seseorang pernah memberiku sebuah diary, dengan sebuah catatan yang terselip. Kelak aku akan mengembalikannya dalam keadaan kosong karena aku telah mencatatnya di sini….!!!


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
;