Minggu, 29 Juli 2012

Perang Makassar 1669, Prahara Benteng Somba Opu

Sebuah novel sejarah yang mengulas tentang kedudukan bandar niaga maritim Benteng Somba Opu pada abad ke-17. Dalam konstelasi persaingan dengan VOC berkaitan dengan penguasaan jalur ekonomi perairan Indonesia Timur. Novel ini mengisahkan dua kali perang laut antara armada Kerajaan Gowa dan barisan kapal perang VOC. Perang pertama terjadi di Laut Masalembo, mempertemukan armada Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Kapal Gallek Karaenta, dalam rangka menghadang armada kapal VOC yang dipimpin Kapal De Leuwin dalam jalur pelayaran menuju Benteng Fort Rotterdam dari Batavia. Sedangkan perang kedua terjadi di laut Banda mempertemukan armada Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh dua kapal perang Gallek Karaenta dan Tunipallangga yang berusaha menghadang Armada VOC beserta sekutu-sekutunya yang dipimpin oleh Kapal Van Hoyer.
 
Menarik juga ilustrasi cover novel yang memperlihatkan barisan kapal perang VOC yang berhadapan dengan kapal Phinisi Kerajaan Gowa dalam perang Makassar 1669. Kisah ini juga diliputi kisah cinta antara I Makurruni, pemuda hamba kerajaan yang diangkat menjadi perwira muda dalam dua perang tersebut dengan putri Raja Gowa I Patimang, serta konflik keluarga kerajaan meskipun tidak menjadi sesuatu yang klimaks dari kisah perang laut ini. 

Novel sejarah ini menghadirkan epos perang dan kepahlawanan. Strategi perang laut yang diterapkan hingga gemuruh meriam perang yang berdetum serta adu pedang dan badik yang berakhir antara kemenangan atau kekalahan. Kisah pertarungan laut ini jika diimajinasikan akan menandingi kisah perang laut dalam film Pirates of the Caribbean yang diproduksi Jerry Bruckheimer. Namun novel ini menyajikan satu sudut pandang saja, yaitu dari kerajaan Gowa. Sehingga timbul pertanyaan bagaimana perspektif dari VOC sendiri dalam maksud menguasai jalur perdagangan vital di Indonesia Timur hingga perspektif sekutu-sekutu VOC, salah satunya perselisihan antara Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bone. Terlepas dari itu novel sejarah ini telah membawa peristiwa tiga setengah abad yang lalu ke dalam imajinasi pembaca. Mengingatkan kisah kehidupan Benteng Sompa Opu di masa lalu (semasa mahasiswa saya pernah merasakan beberapa harmal tinggal di dalam benteng).

Keberanian punggawa kerajaan Gowa melawan kompeni Belanda begitu dikagumi hingga kemudian nama raja yang bergelar Sultan Hasanuddin diabadikan menjadi nama sebuah universitas negeri terbesar di Indonesia Timur. Di sebut kampus merah sebagai perwujudan warna panji kebesaran Kerajaan Gowa dalam menghadapi kolonial (saya sempat merasakan militansi berlebihan para punggawa kampus).
 
Semangat badik dan padompe (senjata dan destar khas Makassar) yang mengurat dalam sejarah masa lalu!


Selesai membaca novel: Perang Makassar 1669
Kupang, 29 Juli 2012
©daonlontar.blogspot.com

comments

Catatan....!!!

Menulis bukan bakat, tetapi kemauan. Dalam kisah setiap orang pasti akan menuliskan apa ada yang ada di pikiran dan perasaannya.. Secara perlahan menulis mengantarkan seseorang menuju pencerahan, karena menulis membuat orang membaca dan sebaliknya membaca membuat orang menulis. Menulis merupakan pembelajaran, dan tidak hanya sekumpulan kalimat tetapi merupakan sekumpulan nilai dan makna. Kini cara menulis tidak lagi menggunakan pahat dan batu, tongkat dan pasir atau dengan kemajuan teknologi tidak lagi dengan tinta dan kertas tetapi sudah beranjak pada keyboard dan screen. Banyak kisah dan sejarah masa lalu yang tidak terungkap, karena tak ada yang mencatatnya atau bahkan lupa untuk mencatatnya. Mengutip kalimat singkat milik Pramoedya Anantatoer, “hidup ini singkat, kita fana, maka aku akan selalu mencatatnya! Agar kelak abadi di kemudian hari…” Catatan adalah sebuah kesaksian dan kadang juga menjadi sebuah pembelaan diri. Seseorang pernah memberiku sebuah diary, dengan sebuah catatan yang terselip. Kelak aku akan mengembalikannya dalam keadaan kosong karena aku telah mencatatnya di sini….!!!


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
;