Jumat, 13 April 2012

Menonton teater: Ratu Balonita

Sudah sekian tahun saya tidak pernah menonton teater. Sewaktu masih kuliah saya sering menyaksikan teater jalanan teman-teman demonstran dengan tema-tema kritik pembangunan. Sedangkan teater lainnya adalah pada malam inaugurasi pengukuhan keluarga mahasiswa fakultas yang digelar setiap tahunnya, dipersembahkan oleh mahasiswa baru dalam bentuk opera. Untuk yang terakhir ini tema cendrung pada kehidupan kampus dan percintaan.

Memang menonton teater masih menjadi kebutuhan tersier bagi penduduk kota. Bisa dikatakan juga sebagai kebutuhan penghargaan (esteem needs) ala Abraham Maslow. Berupa kebutuhan penghargaan baik terhadap harga diri sendiri maupun penghargaan terhadap orang lain. Hal ini membawa pada kestabilan diri seseorang untuk menjaga mood. Sehingga bilamana kebutuhan ini dipenuhi orang akan merasa percaya diri dan berharga di mata masyarakat. Simak saja prilaku orang di Eropa yang setiap akhir pekan pergi menonton olah raga atau teater.


Suatu kesempatan bisa menyaksikan sebuah pergelaran teater di Kota Kupang, yang berjudul Ratu Balonita. Mungkin pergelaran teater komersil ini adalah yang pertama kali di Kota Kupang, padahal jika ditinjau dalam sejarah Kota Kupang, pergelaran teater telah ada sejak zaman pra kemerdekaan. Ratu Balonita digambarkan sebagai tokoh yang pengambil kebijakan yang tidak bijaksana dari sebuah negeri yang sebenarnya elok. Balonita sebagai analogi dari balon berisi angin yang dibeli rakyat setelah menjual hasil jerih payahnya, dari hasil bumi, anak, harga diri bahkan universitas kebangaan. Sebuah satire bagi pemerintahan yang gagal menciptakan program untuk memberdayakan masyarakat. Sajak-sajak dalam teater Ratu Balonita merupakan karya Sastrawan NTT Gerson Poyk.


Teater ini berlangsung kurang lebih dua jam dengan lakon gaya Romawi kuno dengan tata akuistik panggung yang lumayan. Namun pergelaran teater ini juga tak luput dari kritik, masih ada jeda momentum yang kosong dalam scane, sehingga membuat penonton seolah kehilangan ritme, hal yang juga diamini oleh sastrawan kenamaan Putu Wijaya yang sempat hadir menonton. Berikut adalah penggalan scene dalam pergelaran teater Ratu Balonita pada tanggal 12 April 2012 lalu:

Tarian daerah sebagai bagian opening teater ratu balonita yang dipersembahkan oleh Sanggar Lopo Gaharu Kupang 

Kedatangan Ratu Balonita dalam pengawalan prajurit romawi

 Cuplikan pertukaran bayi sebagai representasi harta dengan balon warna-warni

Teater ini diproduksi oleh oleh Rumah Poetika Kupang, dengan penulis skenario Gerson Poyk (budayawan asal NTT) dan disutradarai oleh Kornelia Djobo. Pelakon teater adalah anggota Sanggar Rumah Poetika sedangkan selingan tarian persembahan Sanggar Lopo Gaharu Kupang. Pergelaran dipentaskan dua kali yaitu Kamis-Jumat, 11-12 April 2012. (*)

Kupang, 13 April 2012
©daonlontar.blogspot.com


comments

Catatan....!!!

Menulis bukan bakat, tetapi kemauan. Dalam kisah setiap orang pasti akan menuliskan apa ada yang ada di pikiran dan perasaannya.. Secara perlahan menulis mengantarkan seseorang menuju pencerahan, karena menulis membuat orang membaca dan sebaliknya membaca membuat orang menulis. Menulis merupakan pembelajaran, dan tidak hanya sekumpulan kalimat tetapi merupakan sekumpulan nilai dan makna. Kini cara menulis tidak lagi menggunakan pahat dan batu, tongkat dan pasir atau dengan kemajuan teknologi tidak lagi dengan tinta dan kertas tetapi sudah beranjak pada keyboard dan screen. Banyak kisah dan sejarah masa lalu yang tidak terungkap, karena tak ada yang mencatatnya atau bahkan lupa untuk mencatatnya. Mengutip kalimat singkat milik Pramoedya Anantatoer, “hidup ini singkat, kita fana, maka aku akan selalu mencatatnya! Agar kelak abadi di kemudian hari…” Catatan adalah sebuah kesaksian dan kadang juga menjadi sebuah pembelaan diri. Seseorang pernah memberiku sebuah diary, dengan sebuah catatan yang terselip. Kelak aku akan mengembalikannya dalam keadaan kosong karena aku telah mencatatnya di sini….!!!


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
;